Minggu, 13 Juni 2010

RUNTUHNYA KHARISMA PESANTREN (baru dari rudi)

Pesantren dalam eksistensinya sebagai kekuatan sosio kultural yang berfungsi sebagai lembaga yang memiliki peran mendidik individu dan benteng moralitas masyarakat akan nilai-nilai (kejujuran, tangungjawab, keadilan, kasih sayang kepada sesama, berjuang untuk kebahagiaan dan kesehteraan orang lain, dll).
kekuatan pesantren tidak lepas dari kharisma pemimpin pesanten sebagai salah satu komponen setara yang menjadi cikal bakal lahirnya pesantren. dengan kedalaman ilmu, keluhuran budi, dan kegigihan perjuangan pemimpin (pengasuh) akan mampu menarik simpati masyarakat untuk menitipkan putra-putrinya guna belajar ilmu agama dan ketinggian budi.
kyai merupakan sebutan khusus bagi pengasuh pesantren dikalangan islam tradisionalis yang tidak hany di pandang sebagai seorang pemimpin agama karena menyandang gelar pewaris para nabi (waratsatul al-anbiya') tetapi juga pembimbing masyarakat. dengan demikian seharusnya pesantren memiliki tangungjawab keagamaan yang diimplementasikan dalam peranan pesantren memperjuangkan dakwah islamiyah, "educational capability" yang stressingnya terhadap peningkatan kualitas kualitas pendidikan umat "practice capability" yang titik tekannya pada radiasi syariah (islamic low) dalam pribadi umat islam "moral capability" mengarahkan umatnya untuk mengevaluasi dari dengan akhlak al-karimah (Said Aqil siradj. 1996).
Dalam melaksanakan tangungjawab diatas pengasuh pesantren mencurahkan waktunya untuk mendidik, membina, mendorong, mengawasi secara fulltime kegiatan santri setiap sehari-hari. kuatnya kharisma pengasuh menyebabkan antara kyai dan santri ada ataqah bathiniyyah, hubungan batin yang sifatnya sangat pribadi dan emosional sekali.
Dengan adanya ataqah bathiniyyah maka akan terbentuk suatu pola hubungan dua rah yang satu begitu tunduk kepada yang lainnya. hal ini merupakan perbedaan prinsip dengan pola relasi modern, yang didalamnya terdapat kritisme, rasionalisme, dan objektifisme.
Kyai dengan kharismanya akan lebih mudah mendapat dukungan masyarakat luas dan potensi ini akan membuat kyai mampu membentuk struktur masyarakat dengan sistem nilai dan tatanannya yang kokoh. sebab ia merupakan figur yang moral, anutan nilai, berwatak sosial, serta irang yang mampu memberikan suri tauladan yang baik.
Masuknya kyai dalam politik praktis akan mengalihkan fungsi kyai yang seharusnya menjadi motor peradaban, pembela kaum hina dina termsuk kaum moralitas. adalah wajar jika Clifford Gearts mengatakan kyai sebagai perantara pialang dan budaya (cultural brokers). fungsi kyai sebagai salah satu alat kontrol kekauasaan. seharusnya mempunyai integritas tinggi, karena integritas itu, pengaruh mereka menjadi lebih kuat dari kekuasaan yang di hadapi, tapi disisi lain tidak membuat kekausaan menjadi mandul dan kontraproduktif karena tekanan kyai merupakan lasan baik kyai ketika terjun dalam politik praktis ingin memperbaiki moralitas politik demi perbaikan bangsa tetapi kenyataannya perbaikan moralitas politik menuju good dan clean akan govermance menyeret sang kyai dan sinyalir dalam politik yang tidak terpuji, masuk dalam lingkungan kekuasaan yang selalu menghalalkan segala macam cara demi tercapainya tujuan. dengan menempatkan kyai pada kekuasaan politis yang amat signifikan dalam gerakan masyarakat dan pembangunan pedesaan dengan gaya paternalistik. yang umumnya diantut masyarakat desa. kemudian kyai menjadi aset figur yang menjadi rebutan berbagai partai dalam merekrut massa. persolaannya akan lebih menarik saat kyai telah masuk wilayah politik praktis yang acapkali tidak bisa melepaskan diri dari konflik kepentingan kepartaian, sehingga sering terjadi enturan yang melibatkan umat dibelakangnya. wilayah kyai adalah wilayah agama yang memuat aspek religiusitas dan skaralitas. sedangkan kaidah politik penuh sekularitas dan profanitas (melanggar kesucian agama) agama mewartakan kasih, kejujuran, ketulusan dan kebahagiaan abadi yang di tandai perngorbanan, penyerahan diri (tawakkal) dan kerelaan memberikan bagi sesama. politik berlumuran dengan musuh, kebohongan dan fana dunia, serta sikap dominasi mencari keuntungan pribadi dalam keompok. bahkan, bila perlu menikam teman atau lawan, maka tiada kepentingan rakyat menjadi orientasi perjuangan.
Akibat keterlibatan kyai dalam politik praktis, mengakibatkan kerugian ganda, secara intern (lingkup pendidikan pesantren) menjadi terbengkalai, kyai tidak bisa fulltime mendidik membina, dan mengawasi para santrinya.
Hal ini akan mengancam desistensi dan reputasi pesantren. tidak menutup kemungkinan akan banak santri yang keluar pesnatren karena sudah tidak mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. pondok tidak hanya merupakan tempat makan, kencing, tidur. tidak ada pacaran roh ilahiah didalamnya. secara ekstern (sisi sosial dan kemasyarakatan) akan terjadi fragmentasi dan segmentasi di tengah-tengah kehidupan umat, yang sangat berpeluang terhadap perpecahan umat itu sendiri. perbedaan antara dua kyai yang sama-sama memiliki kharisma akan lebih mudah menimbulkan tindak provokatif diantara berbagai pendukungnya, maka suasana kerukunan dan persaudaraan yang ditanamkan dalam pesantren justru terinjak-injak. jika hal ini terjadi tidak mustahil menyebabkan runtuhnya kharisma pesantren itu sendiri sebagai anutan umat yang lebih mementingkan kebahagiaan dan kesejahteraan akhirat (Rudi dalam Fathorrahman)